Beranda | Artikel
Kenaikan Harga Dalam Perspektif Islam
Kamis, 25 Februari 2010

KENAIKAN HARGA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Menurut Al-Maqrizi dalam bukunya Iqthatsul Ummah bi kasyfil Ghummah atau Menolong Rakyat dengan Mengeluarkan Sebab-Sebab Penyakitnya, penyebab inflasi (meningkatnya harga-harga barang dan jasa) terutama karena administrasi pemerintahan yang korup. Al-Maqrizi mengungkapkan pendapatnya itu tidak lepas dari pengalamannya sebagai seorang muhtasib (pengawas pasar) pada periode Circasian atau Burji Mamluk (784-922/1382-1517). Ia melihat maraknya praktek korupsi, kebijakan pemerintah yang buruk, dan administrasi yang lemah membuat keadaan ekonomi tidak terkontrol. Akibatnya, kepentingan-kepentingan rakyat tidak terakomodasi dan akhirnya bahan makanan pun menjadi langka.

Kenaikan harga adalah hal yang wajar, misalnya karena hukum ekonomi –barang langka harga naik, permintaan bertambah pasokan berkurang, dan lain-lain-. Namun, yang tidak wajar jika kenaikan harga itu ternyata akibat korupnya pemerintahan/pejabat negara.

Pada masa Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah terjadi kenaikan harga. Namun, masalah harga barang/jasa pada masa Rasululullah diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Tugas pemerintah adalah mengawasi mekanisme pasar itu agar berjalan fair, tidak ada penimbunan, mafia, dan monopoli, agar harga-harga tetap terkendali, bahkan murah.

Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Ia berkata,

غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا  فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ 

Pernah naik harga (barang-barang) di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang berkata “Ya Rasulullah, telah naik harga, karena itu tetapkanlah harga bagi kami” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah, Dia-lah al-Musa’ir (yang menetapkan harga), al-Qaabidh (yang menyempitkan rezeki), al-Baasith (yang melapangkan rezeki),ar-Rozzaaq (yang maha memberi rejeki) dan sesungguhnya aku harap bertemu Allah di dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntut aku lantaran menzalimi dalam darah dan harta”.

Hadist tersebut menjadi rujukan sebagian Ulama  untuk pembenaran bahwa harga ditentukan pasar. Dua dari empat mazhab terkenal, Hambali dan Syafi’i, menyatakan bahwa pemerintah tak mempunyai hak untuk menetapkan harga. Sedangkan Ibnu Qudamah al-Maqdisi, salah seorang Ulama  Mazhab Hambali, menulis bahwa pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mengatur harga. Penduduk boleh menjual barang-barang mereka dengan harga berapa pun harga yang mereka sukai.

Ibnu Qudamah mengutip hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang mengatakan.

أَنَّ رَجُلًا جَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، سَعِّرْ، فَقَالَ: «بَلْ أَدْعُو» ثُمَّ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، سَعِّرْ، فَقَالَ: بَلِ اللَّهُ يَخْفضُ وَيَرْفَعُ، وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ لِأَحَدٍ عِنْدِي مَظْلَمَةٌ

Ada seorang laki-laki datang lalu berkata, “Wahai Rasulullah tetapkanlah harga ini”. Beliau menjawab, “(tidak) justru biarkan saja”. Kemudiaan beliau didatangi oleh laki-laki yang lain lalu mengatakan, “Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga ini”. Beliau menjawab, (tidak) tetapi Allah-lah yang berhak menurunkan dan menaikkan. Dan sungguh aku berharap untuk berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman

Dari hadist tersebut Ibnu Qudamah mengatakan bahwa ada dua alasan harga tidak diperkenankan diatur oleh pemerintah.

  • Pertama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menetapkan harga meskipun penduduk menginginkannya.
  • Kedua. Menetapkan harga adalah sesuatu ketidakadilan yang dilarang. Ini melibatkan hak milik seseorang di dalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga berapapun, asal ada kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Pandangan Ibnu Qudamah tersebut sama dengan  pandangan Abu Hafz al-Akbari, Qadi Ya’la, Nejatulah Siddiqi yang memberikan kepercayaan kepada pasar untuk menentukan tingkat harga. Tetapi beberapa Ulama  seperti  Said bin Musayyib, Rabi’ah bin Abdul Rahman, dan Yahya bin Sa’id, menyetujui penetapan harga maksimum kepada para penyalur barang. Tetapi Abu Hanifah menyatakan penetapan harga diperlukan untuk melindungi masyarakat yang menderita diakibatkan kenaikan harga.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menafsirkan hadist mengenai harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar sebagai kasus khusus, bukan aturan umum. Alasan mengapa Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak menetapkan harga, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, barang-barang yang dijual di Madinah sebagian besar berasal dari impor. Penetapan harga akan mengurangi pasokan barang ke Madinah karena tingkat harga barang di Madinah didasarkan atas biaya-biaya yang dikeluarkan pedagang dalam memenuhi kebutuhan barang penduduk Madinah dari negeri tetangga. Maka, kontrol apa pun yang dilakukan atas barang-barang itu akan bisa menyebabkan timbulnya kekurangan pasokan barang dan memperburuk perekonomian Madinah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan, Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menetapkan harga secara adil.

  • Pertama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa harga budak harus dipertimbangkan dengan adil  tanpa adanya tambahan dan pengurangan.[1]
  • Kedua, Ketika ada perselisihan antara dua orang, antara pemilik pohon yang sebagian tumbuh di tanah orang lain dan pemilik tanah merasa dirugikan. Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjual pohon tersebut kepada pemilik tanah dengan harga yang adil. Tetapi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa, akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan pemilik tanah menebang pohon tersebut dan memberikan kompensasi kepada pemilik pohon[2].

Islam tidak menentukan sistem yang paling benar dalam masalah harga, apakah harga yang ditentukan pasar sepenuhnya atau ditetapkan pemerintah.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu, harga lebih ditentukan penguasa oleh karena keadaan-keadaan tertentu. Dalam Al-Muwatta’, Yahya menyampaikan dari Malik dari Yunus bin Yusuf dari Said bin al-Musayyib, bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu melewati Hatab bin Abi Baltha’a yang sedang mengobral anggur kering di pasar. Umar bin Khattab berkata kepadanya, “Naikkan harga atau tinggalkan pasar kami”. Penetapan harga oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu di saat itu disebabkan harga obral (menurunkan harga) akan merugikan pedagang anggur lain di pasar Madinah.

Dilain pihak saat masa paceklik di daerah Hijaz, harga barang kebutuhan pokok membumbung tinggi, tetapi Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu tidak menetapkan harga barang supaya diturunkan. Untuk mengatasi masalah ini, Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu mengirim bahan makanan untuk penduduk Hijaz dari Mesir dan Syam. Akhirnya meningkatnya jumlah bahan makanan di Hijaz menjadikan harga bahan makanan menjadi turun. Dalam hal ini Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu mengakhiri krisis tanpa harus menetapkan harga.

Jika kita merujuk hadits Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,  tuntunan dan petunjuk Khulafaur rasyidin, serta para Ulama mengenai harga. Penetapan harga oleh pemerintah lebih dikarenakan adanya sebab-sebab tertentu yang berhubungan langsung dengan kondisi rakyat. Bukan semata-mata kepentingan pemerintah, apalagi pemerintahan yang disinyalir Al-Maqrizi –pemeritahan yang korup!- Wallahu a’lam.

Disadur dari pusdai
_______
Footnote 
[1] HR Muttafaqun ‘Alaihi.
مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ فَكَانَ لَهُ مَالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ الْعَبْدِ قُوِّمَ الْعَبْدُ عَلَيْهِ قِيمَةَ عَدْلٍ فَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ وَعَتَقَ عَلَيْهِ الْعَبْدُ وَإِلَّا فَقَدْ عَتَقَ مِنْهُ مَا عَتَقَ
Siapa yang membebaskan bagiannya pada seorang hamba (budak), lalu ia memiliki harta senilai harga budak tersebut, maka harga budak harus ditentukan dengan harga yang adil (harga saat itu-red) lalu dia serahkan pembayaran itu kepada sekutunya sesuai dengan kadar kepemilikan mereka. Dengan demikian budak itu bebas, jika tidak berarti dia hanya membebaskan apa yang menjadi bagiannya saja [Muttafaqun ‘Alaihi]

Artinya, apabila ada dua orang berserikat dalam kepemilikan seorang budak, lalu salah satunya berkeinginan membebaskan budak tersebut. Jika yang berkeinginan ini memiliki uang yang cukup, maka ia harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar bagian teman serikatnya itu. Nilai yang harus dibayarkan ditetapkan dengan harga standar saat itu, bukan berdasarkan permintaan teman serikatnya dalam budak itu. Ini menunjukkan adanya tas’îr.
[2] HR. Abu Daud
 عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّهُ كَانَتْ لَهُ عَضُدٌ مِنْ نَخْلٍ فِي حَائِطِ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ وَمَعَ الرَّجُلِ أَهْلُهُ قَالَ فَكَانَ سَمُرَةُ يَدْخُلُ إِلَى نَخْلِهِ فَيَتَأَذَّى بِهِ وَيَشُقُّ عَلَيْهِ فَطَلَبَ إِلَيْهِ أَنْ يَبِيعَهُ فَأَبَى فَطَلَبَ إِلَيْهِ أَنْ يُنَاقِلَهُ فَأَبَى فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَطَلَبَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَهُ فَأَبَى فَطَلَبَ إِلَيْهِ أَنْ يُنَاقِلَهُ فَأَبَى قَالَ فَهِبْهُ لَهُ وَلَكَ كَذَا وَكَذَا أَمْرًا رَغَّبَهُ فِيهِ فَأَبَى فَقَالَ أَنْتَ مُضَارٌّ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْأَنْصَارِيِّ اذْهَبْ فَاقْلَعْ نَخْلَهُ.   رواه ابو داود
Dari Samurah bin Jundab. Beliau memiliki sederet pohon kurma yang tumbuh di kebun milik salah seorang Anshar. Di tempat tersebut, orang Anshar tadi tinggal bersama keluarganya. Samurah sering memeriksa pohon-pohon kurmanya, termasuk pohon kurma yang tumbuh di tanah si Orang Anshar. Tentu saja, keberadaan Samurah mengganggu dan menyebabkan orang Anshar tersebut merasa tidak nyaman. Si Orang Anshar menawarkan kepada Samurah agar menjual pohon kurma tersebut kepadanya. Samurah menolak. Si Orang Anshar meminta Samurah memindahkan pohon kurmanya. Samurah juga menolak tawaran tersebut. Akhirnya, dia melaporkan permasalahan ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Samurah untuk menjual pohon kurmanya. Ketika opsi ini ditolak, Nabi meminta Samurah untuk memindahkan pohon kurmanya. Ketika opsi kedua ini ditolak, Nabi mengatakan kepada Samurah, “Hadiahkan pohon kurma tersebut kepadanya, dan untukmu ada ganjaran demikian dan demikian.” Nabi sebutkan hal yang disukai oleh Samurah. Samurah tetap menolak, maka Nabi mengatakan, “Engkau ini memang pengganggu!” Nabi lantas berkata kepada si Orang Anshar, “Pergilah! Silakan tebang saja pohon kurmanya!” [H.R. Abu Daud, no. 3636; dinilai lemah oleh Al-Albani]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2666-kenaikan-harga-dalam-perspektif-islam.html